Beritaoikoumene.com – Jakarta, Tedong Tekken Langi’, salah satu simbol yang sangat dihormati dalam budaya Toraja, telah dipilih sebagai maskot Sidang Raya PGI XVIII 2024. Keputusan ini memiliki latar belakang mendalam yang terkait dengan spiritualitas, budaya, dan nilai-nilai perdamaian yang sudah tertanam lama dalam masyarakat Toraja. Tedong, atau kerbau, adalah hewan yang sangat dihormati dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan ritual, sehingga kehadirannya sebagai maskot memberikan makna khusus bagi Sidang Raya PGI kali ini.
Tedong, dalam bahasa Toraja, berarti kerbau. Kerbau ini tidak hanya berfungsi sebagai hewan ternak dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga memiliki makna spiritual dan budaya yang sangat mendalam. Tedong Tekken Langi’, yang secara harafiah berarti “kerbau yang menyentuh langit,” adalah jenis kerbau yang unik karena memiliki tanduk yang tidak simetris—satu menjulang ke atas, dan satu lagi mengarah ke bawah. Ini melambangkan hubungan antara dunia manusia dan alam roh, serta antara manusia dan Sang Pencipta.
Dalam budaya Toraja, kerbau sering digunakan dalam berbagai ritual penting, termasuk upacara kematian, perkawinan, dan penyelesaian perselisihan. Tedong dipercaya sebagai kendaraan roh menuju alam baka, dan kehadirannya dalam upacara dianggap membawa perlindungan serta berkah bagi keluarga yang mengadakannya.
Tedong Tekken Langi’ dipilih sebagai maskot Sidang Raya PGI XVIII 2024 bukan tanpa alasan. Pemilihan ini didasari oleh nilai-nilai simbolik yang dibawa oleh Tedong dalam budaya Toraja. Tedong Tekken Langi’ melambangkan relasi yang erat antara manusia dan roh leluhur, serta antara manusia dan Tuhan. Makna spiritual ini sejalan dengan tema Sidang Raya PGI XVIII, yang berfokus pada kebaikan, keadilan, dan kebenaran.
Sebagai maskot, Tedong Tekken Langi’ mengajak gereja-gereja di Indonesia untuk merenungkan peran mereka dalam menciptakan perdamaian, tidak hanya antara manusia, tetapi juga dengan Tuhan dan alam. Gereja diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan masyarakat yang harmonis, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan ajaran Kristus.
Tedong Tekken Langi’ mengandung berbagai makna simbolik yang relevan dalam konteks gereja dan masyarakat.
Tedong Tekken Langi’ melambangkan hubungan spiritual tertinggi antara dunia manusia dan roh leluhur. Kerbau ini dianggap sebagai perantara yang membawa keberuntungan dan berkah bagi masyarakat Toraja.
Dalam konteks Sidang Raya PGI XVIII, Tedong Tekken Langi’ berfungsi sebagai simbol hubungan yang damai antara manusia dan Tuhan. Ritual penyembelihan Tedong Tekken Langi’ dalam masyarakat Toraja sering digunakan sebagai upacara perdamaian, baik antara suku maupun antar kerajaan.
Pada abad ke-17, ritual ini digunakan untuk menyelesaikan konflik antara masyarakat Toraja dan Kerajaan Bone. Dalam konteks Sidang Raya, Tedong Tekken Langi’ diharapkan menjadi simbol perdamaian antar suku dan bangsa di Indonesia.
Tedong Tekken Langi’ juga memiliki fungsi sosial sebagai pemersatu masyarakat. Dalam berbagai upacara, penyembelihan kerbau ini menjadi ajang berkumpulnya masyarakat dari berbagai daerah, mempererat persaudaraan, dan memperkuat kebersamaan. Hal ini selaras dengan tujuan Sidang Raya yang mengajak gereja untuk mempererat hubungan antar umat.
Sidang Raya PGI XVIII menggunakan simbol Tedong Tekken Langi’ untuk menggambarkan proses teologi kontekstual dan transformasi pemikiran bergereja dalam konteks kehidupan bersama. Kristus, yang diyakini sebagai kurban pendamaian antara Allah dan manusia, dipandang secara teologis hadir dalam Tedong Tekken Langi’.
Pengorbanan Tedong Tekken Langi’ melambangkan dipulihkannya relasi antara suku, bangsa, dan sesama ciptaan. Tema Sidang Raya, “Hiduplah sebagai terang yang membuahkan kebaikan, keadilan, dan kebenaran,” menggambarkan bagaimana gereja di Indonesia harus terus mengupayakan perdamaian, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusia.
Tedong Tekken Langi’ bukan hanya sekedar maskot, tetapi juga simbol yang memiliki makna spiritual, budaya, dan sosial yang dalam bagi masyarakat Toraja dan Sidang Raya PGI XVIII. Melalui simbol ini, Sidang Raya mengajak gereja untuk merefleksikan peran mereka dalam menciptakan perdamaian, keadilan, dan kebaikan di tengah masyarakat. Gereja diharapkan dapat terus menjadi perantara damai, baik di antara sesama manusia, maupun antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta.