SURAT TERBUKA: MENUTUP CELAH INTOLERANSI MELALUI DIGITALISASI PERIZINAN DAN TRANSFORMASI SKB 2 MENTERI MENJADI PERPRES
Beritaoikoumene.com – JAKARTA – Rentetan hambatan ibadah Natal pada Desember 2025, mulai dari pembatalan Misa di Pondok Cina, Depok, hingga pelarangan penggunaan gereja di Jonggol, Bogor, menjadi alarm keras bagi demokrasi Indonesia. Perkumpulan Wartawan Gereja Indonesia (PWGI) secara resmi mengusulkan langkah radikal untuk mengakhiri kemelut ini: Digitalisasi Perizinan Rumah Ibadah dan Peningkatan Status SKB 2 Menteri menjadi Peraturan Presiden (Perpres).
1. Kesenjangan Ontologis: Norma Konstitusi vs Realitas Administratif
Secara hukum, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Namun, secara empiris, hak ini seringkali “kalah” oleh regulasi teknis di bawahnya.
Kasus di Jonggol, di mana 70 jemaat GMII Betlehem terhalang beribadah karena alasan “izin prinsip”, membuktikan adanya disparitas hukum. PWGI menilai bahwa saat ini terjadi praktik “Veto Mayoritas” yang dilegalkan oleh prosedur administratif yang berbelit, sehingga hak fundamental warga negara disandera oleh persetujuan lingkungan.
2. Kelemahan Struktural SKB 2 Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006
SKB 2 Menteri yang telah berlaku hampir dua dekade ini dinilai sudah tidak relevan dengan semangat reformasi birokrasi modern. Ada dua kelemahan utama yang diidentifikasi:
- Hierarki Hukum yang Rendah: Sebagai keputusan bersama menteri, daya ikat dan sanksi terhadap kepala daerah yang abai sangat lemah.
- Politik “Angka” (90/60): Syarat 90 pengguna dan 60 dukungan warga seringkali menjadi instrumen transaksional dan ruang intimidasi oleh kelompok intoleran di tingkat akar rumput.
“Negara tidak boleh membiarkan hak asasi rakyatnya ditentukan oleh pemungutan suara tetangga. Ibadah adalah urusan vertikal dengan Tuhan yang dijamin konstitusi, bukan komoditas perizinan bangunan semata,” tegas perwakilan PWGI.
3. Solusi Pertama: Digitalisasi Perizinan (E-House of Worship)
PWGI menawarkan solusi teknis melalui digitalisasi perizinan rumah ibadah yang terintegrasi dengan sistem Online Single Submission (OSS). Langkah ini bertujuan untuk:
- Transparansi Mutlak: Menghilangkan “ruang gelap” dalam negosiasi perizinan antara jemaat dan oknum pejabat lokal.
- Reduksi Tekanan Massa: Dengan sistem daring, verifikasi dokumen dilakukan secara objektif oleh sistem dan pemerintah pusat/provinsi, sehingga meminimalisir intervensi fisik dari kelompok massa di lapangan.
- Kepastian Izin Sementara: Sistem dapat secara otomatis menerbitkan “Izin Ibadah Sementara” jika syarat administratif belum terpenuhi namun hak ibadah harus tetap berjalan, sesuai mandat regulasi.
4. Solusi Kedua: Transformasi Menjadi Peraturan Presiden (Perpres)
Mendorong peningkatan status regulasi dari SKB menjadi Perpres bukan sekadar urusan administrasi, melainkan penegasan kedaulatan negara. Perpres memiliki posisi hukum yang lebih kuat untuk:
- Mengikat Kepala Daerah: Memberikan sanksi administratif bagi Walikota atau Bupati yang membiarkan pelarangan ibadah terjadi di wilayahnya.
- Anggaran Negara: Memastikan pendanaan untuk pembangunan rumah ibadah atau penyediaan gedung pertemuan milik negara (sebagai solusi sementara) masuk dalam APBN/APBD.
- Standar Nasional: Menghapus tafsir ganda aparat desa/kecamatan dalam menerjemahkan aturan perizinan yang selama ini sering menjadi akar konflik, seperti yang terjadi di Depok dan Bogor pada akhir 2025 ini.
5. Peran PWGI dalam Mengawal Kebijakan
Sebagai wadah jurnalis, PWGI berkomitmen untuk melakukan monitoring ketat terhadap setiap kebijakan publik yang bersinggungan dengan kerukunan umat beragama. PWGI akan terus menyajikan jurnalisme data yang mengungkap fakta intoleransi bukan sebagai insiden tunggal, melainkan sebagai dampak dari sistem yang perlu diperbaiki.
Kasus pelarangan Natal 2025 di berbagai daerah adalah bukti bahwa Indonesia tengah mengalami crisis of enforcement (krisis penegakan aturan). Digitalisasi perizinan dan penguatan regulasi melalui Perpres adalah solusi logis untuk menutup celah antara janji manis konstitusi dengan pahitnya praktik di lapangan. Sudah saatnya negara hadir secara sistemik, bukan hanya reaktif saat konflik pecah.
KAMI MENGIRIMKAN SURAT TERBUKA, SILAKAN DOWNLOAD DISINI :
